Pulang

Aku tahu persis aku ini seorang perempuan. Lebih tepatnya anak pertama mama. Anak pertama yang sudah cukup dewasa secara umur dan merantau sendiri di ibukota. Ya, hanya secara umur. Bathinku masih sering memunculkan sikap sentimentil jika menghadapi masalah-masalah yang melankolis. Seperti masalah rindu. Aku rindu Mama, tapi aku malu mengatakannya setiap saat. Aku malu jika terus menerus menelponnya dan meminta Mama berlama-lama berbicara denganku lewat udara. Meski aku rindu. Jika itu aku lakukan Mama akan curiga bahwa 'aku sedang tidak baik-baik saja' dan malah membuat Mama khawatir. Aku tidak mau. Aku khawatir jika membuat Mama khawatir. Maka rindu ini kupendam dalam. Andai teleponku berdering dan layarnya menunjukkan nama Mama riang hati bukan kepalang.

Seperti terjebak dalam kurungan tubuh yang menua tapi jiwaku masih seperti anak kecil yang rindu akan peluk dan cium Mama.

Mama jangan menua, jangan!
Kumohon

Saat aku merasa dunia ini penuh dengan kejutan-kejutan yang nyaris membuatku tak sanggup berdiri tegak. Hanya di sisi Mama aku bisa pulang lalu bersembunyi dan merasa tenang.

Mungkin ini penggalan percakapan kita Mama, beberapa tahun yang akan datang, aku tak tahu kapan tiba.

Ini hari pernikahanku Mama bilang, semua akan baik-baik saja. Aku harus berada dimanapun suamiku berada. Tentu saja aku bisa, kataku. Aku akan menjadi Mama seperti Mama. 

Dan aku tidak akan pulang, meskipun Mama merasa kesepian. Jika suamiku tak mengizinkanku.
Oh mengapa hanya beberapa tahun saja kebersamaan kita Mama.
Hanya 18 tahun. Sisanya, aku merantau. Semenjak aku kuliah dan bekerja di ibukota, tak setiap hari kita bisa bernafas dalam satu atap yang sama. Hanya edisi Lebaran dan liburan kita bertemu. Dan sisanya lagi, mungkin seorang laki-laki akan datang meminagku dan membawaku pergi.

Aku ingin mengulannya bersama Mama. Aku harap Mama seumuran denganku, kita menua bersama-sama.

Komentar