Heart Talk

Pagi itu kelas sudah siap menanti kedatangan murid yang akan menimba ilmu. Saya dan teman saya tengah memeriksa peralatan mengajar untuk kedua kalinya memastikan bahwa semuanya siap. Setelah selesai saya kembali duduk dan berdoa dalam hati semoga hari itu proses transfer ilmu berjalan dengan lancar. Tak berapa lama setelah saya selesai berdoa, seorang ibu muda mengetuk pintu kelas. Tidak butuh waktu lama saya langsung mengenalinya, wajahnya sudah tak asing lagi. Dia adalah salah satu orang tua murid. Saya mempersilakannya masuk. Dia menanyakan kabar saya dan bermaksud untuk menanyakan perkembangan belajar anaknya selama di kelas. Tentu dengan senang hati saya menjelaskannya.



Rivano namanya, dia salah satu murid saya. Dia mengikuti bimbel sejak masih sekolah playgroup dan hingga saat ini dia sudah kelas dua SD masih aktif belajar di bimbel. Rivano tergolong anak yang aktif sehingga selain sekolah, dia juga harus menjalani terapi konsentrasi. Saya bertemu Rivano saat dia sudah duduk di kelas dua. Saya adalah guru baru di cabang tersebut, (sebut saja cabang A) satu tahun sebelumnya saya bertugas di cabang B. Jadi sebenarnya saya kurang tau persis bagaimana proses awal dia di bimbel. Biasanya sebelum mulai mengajar kami para guru melakukan briefing singkat mengenai beragam karakter anak yang akan belajar pada hari tersebut. Dari situlah saya diberi tahu tentang Rivano. Mendengar penjelasan singkat tentangnya saya kira itu bukan kasus yang luar biasa, kenakalan yang biasa dilakukan Rivano ketika sedang belajar yang dipaparkan teman sesama guru menurut hemat saya masih hal yang wajar dimiliki anak-anak. Mungkin karena sebelumnya saya sudah terbiasa menangani dan berjumpa dengan beragam karakter anak-anak (pamer dikit hehe). Saya yakin bisa mengajar Rivano dengan baik.
Saat bertemu untuk pertamakalinya Rivano merasa asing pada saya karena saya memang guru baru di sana. Sistem mengajar di bimbel kami one to one, sehingga perkenalan dengan Rivano tidak terasa canggung. Saya langsung memberinya materi dan dia langsung bersikap 'ogah' melaksanakan tugas yang saya berikan. Saya tegas kepadanya, saya ingin menimbulkan kesan yang penuh wibawa padanya agar timbul rasa segan di dirinya pada saya. Saya guru dan dia murid, dia harus mendengarkan dan mengerjakan materi yang guru berikan. Dari berbagai pengalaman yang saya alami langsung, saat anak duduk dan siap belajar itulah waktu terbaik untuk menyuguhkan materinya. Biasanya rentang waktu fokusnya antara 10-15menit per-materi. Setelah selesai belajar biasanya saya mengajak mereka mengobrol tentang apa yang dia alami hari ini di sekolah, bertanya mengenai kemana mereka menghabiskan akhir pekan dan atau saya ajak mereka bermain. Cukup ampuh kok caranya :)
Pertemuan pertama dengan Rivano berjalan cukup lancar, dia mengerjakan semua materi yang saya berikan dengan baik.
Keesokan harinya, Rivano mogok belajar, dia bilang mengantuk. Seperti yang guru sebelumnya katakan, Rivano sering menjadikan 'ngantuk' sebagai alasan untuk tidak mau belajar. Saya sempat bingung apakah harus tetap membiarkan dia tidur atau membangunkannya. Bisa jadi dia memang benar-benar mengantuk atau bisa jadi ini hanya alasan dia pura-pura mengantuk tapi jadi tidur beneran. Hehehe. Kemungkinan yang lain adalah dia bosan dengan cara mengajar saya yang kaku dan formal mungkin. Maka, saya coba membangunkannya dan langsung bercerita tentang pengalaman saya saat masih kecil pergi ke Seaworld. Dayung bersambut, dia antusias mendengar saya bercerita dan tak mau kalah menceritakan pengalamannya sendiri. "Iya bu, Vano juga pernah ke sana bu, di sana ada bintang laut bu, kalau kita pegang kakinya entar lepas semua, yang sisa cuman kepalanya nanti kepalanya lari bu ke tempat yang aman"
Sambil tetap bercerita saya menyuruhnya mengerjakan tugasnya. Hingga tak terasa tugas itu sudah selesai tetapi Vano masih tak henti bercerita hehehe. 
Pada hari berikutnya saya menerapkan 'metode belajar sambil ngobrol' pada Vano. Ternyata kali ini seharian dia hanya asyik mengobrol dan tugasnya terbengkalai. Dari rangkaian pertemuan dengan Vano saya berasumsi bahwa yang terbaik bagi Vano adalah belajar sambil bercerita namun selalu diingatkan akan tugas yang harus dia selesaikan. Beberapa bulan berlalu, seiring dengan pertumbuhannya, Vano mulai tertib saat belajar. Vano yang dulu katanya susah diatur kini tidak ada lagi, yang ada kini Vano yang bersemangat belajar seperti anak pada umumnya. Dia menyelesaikan tugas-tugas dengan cukup baik. Meskipun ada beberapa materi yang harus berkali-kali dijelaskan baru dia paham. Paling tidak dia sudah berusaha belajar dengan baik. Saya rasa bertambahnya usia membuat Vano mulai lebih teratur ketika belajar. Hal tersebut sangat membantu banyak.
Bulan-bulan berikutnya, Rivano belajar sebagaimana mestinya, gurunya tidak perlu ekstra tenaga dan ekstra bersabar untuk membuatnya mau belajar. Masya Allah, Alhamdulillah...

Hingga datang hari itu, hari di mana Ibu dari Rivano mengetuk pintu kelas dan menceritakan banyak hal. Ibunya bercerita tentang penolakan yang diterima dari guru les sekaligus wali kelasnya. Dia memperlihatkan sebuah pesan singkat di ponselnya yang dikirim oleh wali kelas anaknya. Pesan singkat tersebut berisi pemberitahuan bahwa wali kelasnya sudah menyerah mengajari Rivano dan akan berhenti mengajar les privat padanya mulai bulan depan, dengan alasan Rivano tidak mau mengikuti pelajaran yang diberikan dan sulit dikendalikan saat belajar. 
Ibunya merasa sedih membaca pesan singkat tersebut. Ibunya segera mencari tahu apakah anaknya juga bermasalah di tempat les lainnya. Salah satu yang dia kunjungi adalah bimbel tempatku bekerja. 
"Gimana bu anak saya bisa ngikutin pelajaran gak?"
Ya saya menjelaskan bahwa tidak ada kesulitan yang berarti, Rivano bisa mengikuti pelajaran. Jawaban dari saya sepertinya membawa angin kesejukan baginya. Ternyata dia sudah mengunjungi tempat les Rivano yang lain dan mendapat jawaban bahwa Rivano baik-baik saja. Ibunya merasa sedikit kecewa dengan wali kelas Rivano yang mengatakan Rivano tidak bisa mengikuti pelajaran. Sebagai seorang guru saat dihadapkan dengan anak-anak yang 'aktif' seharusnya menjadikan itu sebagai tantangan tersendiri. Bisakah merangkul dan bersabar hingga anak tersebut 'bisa'. Bukan malah menolak dan menyerah sedangkan di tempat lain anak tersebut bisa. Tak hanya sampai di situ, Ibu tersebut juga bercerita bahwa kakaknya Rivano dulu juga sempat dikucilkan karena sama seperti Rivano, kakaknya juga tergolong anak yang 'aktif'. Bahkan saat mau naik ke kelas lima SD, dia harus tinggal kelas karena nilai akhir dan lain sebagainya tidak memenuhi standar kelulusan. Ibunya bersabar dan tak menyerah hingga kakaknya melanjutkan sekolah di Home Schooling. Kakaknya berhasil lulus ujian nasional dengan nilai yang baik, kemudian mendaftar di sekolah menengah pertama pun berhasil lulus. Kakaknya ternyata melompat lebih tinggi dari sebelumnya, di SMP itu dia menjadi salah satu siswa teladan dan aktif mengikuti bermacam lomba dan kegiatan ekstrakulikuler.
Hal yang sama ia harapkan dari Rivano. Menurutnya semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk belajar, dan sebaiknya tidak men-jugde seorang anak tidak bisa. Sebaiknya menanamkan pemahaman positif  dan beri semangat pada anak-anak bahwa belajar itu mudah dan menyenangkan asalkan mau bersungguh-sungguh.

Yap, dari cerita tersebut saya memetik pelajaran baru, bahwa menjadi seorang guru bukanlah perkara yang mudah. Terkadang saat mengajar, secara tak sadar dan tak sengaja kita hanya memberi perhatian yang lebih hanya kepada anak yang sudah dikaruniai kecerdasan oleh Allah sejak lahir. Dan melupakan anak yang memiliki daya tangkap terhadap pelajaran lebih lama. 


Semua anak adalah unik, kami semua cerdas, kami memiliki kecerdasannya masing-masing, tapi kami tak tahu bagaimana caranya selain bertanya pada guru.

Semua guru adalah tak terhingga mulia jasanya, semoga senantiasa diberi ketabahan dan kesabaran mengajari kami,

dari muridmu yang tiada henti membuatmu merasa goyah dan lelah.













Kebenaran hakiki hanya datang dari Allah semata, dan kesalahan ada pada saya...

Komentar