Malam menyeruak mewarnai pekat langit-langit. Bintang mulai menyembul disana-sini, hanya
saja bulan yang masih enggan merona, bersembunyi dibalik awan-awan kelam. Ada dua
sumber suara yang turut meramaikan, yang pertama suara deru kendaraan dan yang kedua
lantunan kalam Allah yang sengaja dinyalakan lewat laptopnya. Kamar tidurnya kira-kira
berukuran 2x3 meter persegi itu memang letaknya persis menghadap jalan raya, tak ayal deru
kendaraan selalu akrab di telinga. Baginya, hanya lantunan ayat Al-Quran yang tetap mendesis
di nurani meski deru kendaraan acapkali memekikkan telinga.
Sebuah buku tebal diktat kuliahnya tengah berada dalam genggamannya, sejak tadi Nur
membuka satu persatu halaman, namun sesekali ia terhenti kemudian mulutnya seperti komat-
kamit menghafal sesuatu dari buku tersebut, lalu begitu seterusnya. Minggu depan, Nur akan
menghadapi ujian semester di kampusnya, hari ini ia ingin menghabiskan waktu dengan
menghafal kembali apa saja yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.
Aktifitasnya terhenti sejenak ketika telepon genggamnya nyaring berdering. Sebuah pesan
singkat masuk.
Kalau memang kau pilihkan aku Nur, tunggu sampai aku datang nanti, kubawa kau pergi ke
Syurga Abadi, kini belumlah saatnya aku membalas cintamu, nantikan aku di batas waktu.
Wajah Nur memerah, sambil komat-kamit di dalam hati menyimpulkan beribu pernyataan.
"Kenapa dia begitu norak, semua orang juga tau ini lirik sebuah nasyid, tidakkah ia bisa lebih
kreatif lagi..." mulutnya bergerak-gerak tanpa dikomando. "Tapi kenapa pesan seperti ini baru
muncul di saat-saat seperti ini, jelas merusak suasana, susah payah aku membangun aura
jenius demi ujian besok" ujarnya sambil menyeka airmata yang tiba-tiba saja deras. "Kenapa
kau selalu terlambat" desisnya.
Nur sudah terlanjur melupakan kenangan itu. Tetapi pesan singkat itu menoreh kembali
kenangan yang tidak ingin Nur ingat-ingat lagi. Kenangan itu sengaja dibiarkan tergilas waktu,
dan bahkan ingin ia lenyapkan hingga tak berbekas.
Semua berawal ketika beberapa bulan yang lalu.
"Kakak, aku tahu kakak suka sama Nur, aku tahu Kakak berusaha menyembunyikan perasaan itu
selama ini sama Nur" desisnya tanpa tedeng aling. Lawan bicara yang hendak pergi
meninggalkannya berbalik dan hanya menatapnya sekilas kemudian tertunduk dalam.
"Kakak orang paling jahat di dunia ini, kakak selalu membungkus semuanya dengan kepura-
puraan, terkadang pura-pura menyukaiku, hingga berpura-pura membenciku, hingga samar
semua harapanku terhadap Kakak, tidakkah kau tau bagaimana sakitnya perasaanku?" papar
Nur gemas. Tidak juga mendapat jawaban dari lawan bicaranya yang sejak tadi hanya berdiri
mematung.
Saat itu Nur menebak begitu saja, tentang perasaan Mufid kepadanya. Mereka adalah sahabat
sejati saat itu, yaa sebelum semuanya berubah. Setidaknya itu menurut Nur, sejatinya mereka
adalah sahabat terbaik yang pernah ada di muka bumi ini.
Kotak Masalah adalah julukan Nur untuk Mufid, sedangkan Kotak Suara yang Mufid nobatkan
kepada Nur. Secara arti, Mufid adalah tempat berkeluh kesah Nur yang tiada hari tanpa
berhenti bercerita. Nur memang hobi bercerita. Baik itu melalui tulisan maupun lisan. Namun
untuk bercerita secara lisan, Mufid lah orang yang paling berperan penting. Sepandai-
pandainya Nur berkeluh kesah, hanya Mufid yang dengan ikhlas mau-mau saja dijadikan kotak
masalah. Bayangkan saja, Nur bisa menghabiskan waktu beberapa jam untuk bercerita, bisa
habislah dua interval acara radio.
Sejauh yang bisa kita simpulkan, Nur menyukai Mufid. Tepat. Semua masalah berakar dari sini.
Sejak dahulu kala roman-roman sering mengisahkan tentang bagaimana menderitanya
persahabatan yang diwarnai rasa ketertarikan yang berlebih satu sama lain. Hasilnya hanya
dua, berjalan masing-masing dan saling menjauh, atau berakhir bahagia. Nur pesimis ini
semua akan berakhir bahagia.
"Nur, aku tak menyangka bisa-bisanya kau memikirkan sesuatu yang tidak perlu kau pikirkan
saat ini enyahkanlah bualanmu itu, bergegaslah penuhi tugas utamamu sebagai seorang
pencari ilmu sejati. Tentang perasaan, alam yang akan bertutur kelak" akhirnya meluncur juga
rentetan kalimat itu dari mulut Mufid. Meledaklah perasaan Nur, ia merasa mendapat
penolakan, bagaimanalah semua akan berjalan baik-baik saja setelah ini. Nur akan menarik diri
dari peredaran, dan berusaha menjauhi kontak langsung dengan Mufid. Tentu saja. Ia malu,
kawan. Kalimat-kalimat Mufid menyumpal bathinnya, kotak suara itu mengotomasikan neuron-
neuronnya agar men-delete Mufid segera dari memorinya.
Berbulan kemudian duo sahabat itu benar-benar lenyap. Tawa dan candanya ikut menguap
mengakhiri segalanya.
Pagi itu ruangan kelas yang dipersiapkan pihak kampus untuk perhelatan ujian semester terasa
lengang. Nur berjalan menyusuri koridor. Sengaja datang paling awal untuk mencocokkan
nomor di kartu peserta dengan ruangan ujiannya. Semuanya buyar ketika sosok itu muncul
kembali. Setelah berbulan berusaha menghindari kontak langsung. Mereka akhirnya
berpapasan. Mufid yang sedang asyik mengobrol dengan seorang perempuan tertawa begitu
lepas.
Nur mengendalikan perasaan. Fokus utama hari ini adalah ujian semester yang hanya
beberapa jam lagi. Bergegas Nur memperbanyak langkah sengaja benar untuk menghindari
mereka. Mufid entah peduli atau tidak. Mereka saling mengabaikan.
"Allohumma innii a’udzubika an adlilla au udlolla au azilla au uzalla au adhlima au udhlama au
ajhala au yujhala ‘alayya* desis Nur beberapa saat sebelum ujian berlangsung. Ia sudah duduk
manis menunggu. Saatnya bertempur.
Nur melangkah terpatah seusai ujian. Butiran soal yang tadi tersaji rupanya memiliki tingkat
kesulitan yang beragam. Ada yang mampu Nur selesaikan dengan cepat dan ada pula yang
sukar dipecahkan. Seolah menjadi analogi yang tepat dengan perikehidupan. Hidup layaknya
seperti menghadapi ujian. Jika kita sudah terlatih mengerjakan beragam jenis persoalan tentu
dengan mudah akan bisa kita selesaikan, karena sejatinya, tidak pernah ada soal yang tidak
ada jawabannya. Akan repot urusan dosen jika menyajikan pertanyaan yang tidak memiliki
jawaban. Soal dan jawaban merupakan dua sedjoli. Sejauh apapun mereka dipisahkan,
akhirnya akan bertemu juga, hanya masalah waktu.
Nur melangkah gontai ketika sampai di mulut gerbang kampus, ia masih berkutat dengan
pemikirannya. Betapa masalah selalu berperan penting dalam proses pendewasaannya.
Masalah adalah cara Allah berdialog kepada hamba-Nya. Nur ingat betul ucapan Mamah
sebelum Nur pergi merantau ke Ibukota.
"Nur, begitu banyak ilalang yang akan tumbuh disekitarmu, jika Nur tidak telaten menebasnya,
Nur akan kehilangan kesempatan melihat segalanya, bisa dipastikan Nur akan tersesat tidak
tau ke mana harus melangkah, tebaslah dengan selalu mengingat dan meminta hanya pada
Allah. Dan ketika Nur berhadapan dengan suatu masalah percayalah, Laa yukallifullahu nafsan
illa wus'aha, sungguh". Nur melambaikan tangan, memanggil angkot, sambil tetap membiarkan
pikirannya beterbangan ke masa silam.
Matahari telah berada di puncaknya, teriknya acapkali melelehkan keringat. Nur menyeka peluh
di wajahnya. Klakson yang dibunyikan supir angkot meramaikan siang hari. Debu ikut
berpesta-pora membikin rusuh udara siang hari ini. Setelah beberapa belokan lagi Nur akan
sampai di kostannya. Saat hendak melihat jam di ponselnya, tertera sebuah panggilan tak
terjawab. Klik. Panggilan tak terjawab dari Mufid. Nur mengabaikan dan memasukkan kembali
ponselnya ke dalam tas.
Ponselnya berdering lagi saat Nur baru saja tiba di kamar kost tercinta. Lagi-lagi Mufid. Nur
membiarkannya berdering, enggan menerima panggilan sekaligus enggan menolak panggilan
tersebut. Satu dua ponsel terus berdering, tak jera rupanya. Hingga setelah panggilan yang
ketiga ponselnya baru berhenti berdering, berganti nada dengan dering tanda sebuah pesan
masuk. Nur membukanya.
Apa kabar Nona? Tidakkah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan hari ini?
Nur menatap lamat-lamat isi pesan tersebut, memikirkan sesuatu kemudian membalasnya,
mengetik-ketikan sesuatu di ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya dia tersenyum lepas.
Mulutnya mendesis mengucap hamdallah, lalu meletakkan kembali ponselnya di meja.
Lama. Ponsel Nur hening.
Di ujung sana Mufid sedang mengeluh sambil mengusap wajahnya serta mengacak-acak
rambutnya. "Nur, maafkan aku, semoga kelak kita dipertemukan pada waktu yang tepat, hidup
ini teramat pelik Nur, jika kau tidak berbekal banyak untuk dunia dan akhirat, maka kehidupan
akan menelanmu bulat-bulat. Aku senang kau giat mencari Ilmu semata karena Allah, bukan
dengan iming-iming keduniaan. Bergegaslah Nur, gapai impianmu, kau kuat, kau hebat dan aku
menyukaimu, ini bukan pura-pura, tetapi aku tidak akan membiarkanmu tahu". Tuts.
Rekamannya dihentikan, setelah ia berkata panjang lebar.
Belalai panjang yang menelusuri tubuh Mufid, dan tabung oksigen mendesis mengeluarkan
uap, terhubung membekap mulut dan hidungnya. Sejak tiga jam yang lalu Mufid sudah tidak
bisa bernafas sendiri, alat-alat hebat inilah yang membantunya. Prakiraan dokter meleset,
ternyata kondisi kesehatan Mufid lebih cepat memburuk. Bagaimanalah, tadi pagi Mufid masih
sempat berpapasan dengan Nur, mengobrol dengan Alika bahkan tertawa-tawa dengannya,
lalu duduk tenang sambil mengerjakan soal ujian.
Peralatan medis yang canggih inipun kini tak kuasa banyak membantunya bernafas. Detak
jantungnya melambat sebelum akhirnya tidak berdetak sedikitpun. Diiringi tangis ibunya
memecah ruangan sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya yang mulai kaku dan dingin.
Percuma saja. Tumor di otaknya telah memenangkan peperangan.
"Kau selalu saja terlambat, lamban dasar kau lamban Mufid" isak Nur menyeka airmata yang
tak ingin berhenti mengalir.
Ia tak henti menebar bunga diantara pusara serta menggenggam erat ponsel Mufid. Rekaman
itu. Nur sudah mendengarnya. Berkali-kali mendengarkannya.
Kawan, kau tahu? Pesan seperti apa yang Nur ketikkan saat itu, saat Mufid masih sempat
membacanya.
I always knew this day would come
We’d be standing one by one
With our future in our hands
So many dreams so many plans
But yesterdays gone we gotta keep moving on
I’m so thankful for the moments so glad I got to know you
The times that we had I’ll keep like a photograph
And hold you in my heart forever
I’ll always remember you
Everyday that we had all the good all the bad
I’ll keep them here inside
All the times we shared every place everywhere
You touched my life
One day we’ll look back we’ll smile and we’ll laugh
But right now we just cry
Cause it’s so hard to say goodbye
Walaupun aku susah melupakan Kakak, tapi aku mulai terbiasa tanpa Kakak, tidak usah kasihani
aku lagi, aku tak butuh lagi, semoga Kakak bahagia...
saja bulan yang masih enggan merona, bersembunyi dibalik awan-awan kelam. Ada dua
sumber suara yang turut meramaikan, yang pertama suara deru kendaraan dan yang kedua
lantunan kalam Allah yang sengaja dinyalakan lewat laptopnya. Kamar tidurnya kira-kira
berukuran 2x3 meter persegi itu memang letaknya persis menghadap jalan raya, tak ayal deru
kendaraan selalu akrab di telinga. Baginya, hanya lantunan ayat Al-Quran yang tetap mendesis
di nurani meski deru kendaraan acapkali memekikkan telinga.
Sebuah buku tebal diktat kuliahnya tengah berada dalam genggamannya, sejak tadi Nur
membuka satu persatu halaman, namun sesekali ia terhenti kemudian mulutnya seperti komat-
kamit menghafal sesuatu dari buku tersebut, lalu begitu seterusnya. Minggu depan, Nur akan
menghadapi ujian semester di kampusnya, hari ini ia ingin menghabiskan waktu dengan
menghafal kembali apa saja yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.
Aktifitasnya terhenti sejenak ketika telepon genggamnya nyaring berdering. Sebuah pesan
singkat masuk.
Kalau memang kau pilihkan aku Nur, tunggu sampai aku datang nanti, kubawa kau pergi ke
Syurga Abadi, kini belumlah saatnya aku membalas cintamu, nantikan aku di batas waktu.
Wajah Nur memerah, sambil komat-kamit di dalam hati menyimpulkan beribu pernyataan.
"Kenapa dia begitu norak, semua orang juga tau ini lirik sebuah nasyid, tidakkah ia bisa lebih
kreatif lagi..." mulutnya bergerak-gerak tanpa dikomando. "Tapi kenapa pesan seperti ini baru
muncul di saat-saat seperti ini, jelas merusak suasana, susah payah aku membangun aura
jenius demi ujian besok" ujarnya sambil menyeka airmata yang tiba-tiba saja deras. "Kenapa
kau selalu terlambat" desisnya.
Nur sudah terlanjur melupakan kenangan itu. Tetapi pesan singkat itu menoreh kembali
kenangan yang tidak ingin Nur ingat-ingat lagi. Kenangan itu sengaja dibiarkan tergilas waktu,
dan bahkan ingin ia lenyapkan hingga tak berbekas.
Semua berawal ketika beberapa bulan yang lalu.
"Kakak, aku tahu kakak suka sama Nur, aku tahu Kakak berusaha menyembunyikan perasaan itu
selama ini sama Nur" desisnya tanpa tedeng aling. Lawan bicara yang hendak pergi
meninggalkannya berbalik dan hanya menatapnya sekilas kemudian tertunduk dalam.
"Kakak orang paling jahat di dunia ini, kakak selalu membungkus semuanya dengan kepura-
puraan, terkadang pura-pura menyukaiku, hingga berpura-pura membenciku, hingga samar
semua harapanku terhadap Kakak, tidakkah kau tau bagaimana sakitnya perasaanku?" papar
Nur gemas. Tidak juga mendapat jawaban dari lawan bicaranya yang sejak tadi hanya berdiri
mematung.
Saat itu Nur menebak begitu saja, tentang perasaan Mufid kepadanya. Mereka adalah sahabat
sejati saat itu, yaa sebelum semuanya berubah. Setidaknya itu menurut Nur, sejatinya mereka
adalah sahabat terbaik yang pernah ada di muka bumi ini.
Kotak Masalah adalah julukan Nur untuk Mufid, sedangkan Kotak Suara yang Mufid nobatkan
kepada Nur. Secara arti, Mufid adalah tempat berkeluh kesah Nur yang tiada hari tanpa
berhenti bercerita. Nur memang hobi bercerita. Baik itu melalui tulisan maupun lisan. Namun
untuk bercerita secara lisan, Mufid lah orang yang paling berperan penting. Sepandai-
pandainya Nur berkeluh kesah, hanya Mufid yang dengan ikhlas mau-mau saja dijadikan kotak
masalah. Bayangkan saja, Nur bisa menghabiskan waktu beberapa jam untuk bercerita, bisa
habislah dua interval acara radio.
Sejauh yang bisa kita simpulkan, Nur menyukai Mufid. Tepat. Semua masalah berakar dari sini.
Sejak dahulu kala roman-roman sering mengisahkan tentang bagaimana menderitanya
persahabatan yang diwarnai rasa ketertarikan yang berlebih satu sama lain. Hasilnya hanya
dua, berjalan masing-masing dan saling menjauh, atau berakhir bahagia. Nur pesimis ini
semua akan berakhir bahagia.
"Nur, aku tak menyangka bisa-bisanya kau memikirkan sesuatu yang tidak perlu kau pikirkan
saat ini enyahkanlah bualanmu itu, bergegaslah penuhi tugas utamamu sebagai seorang
pencari ilmu sejati. Tentang perasaan, alam yang akan bertutur kelak" akhirnya meluncur juga
rentetan kalimat itu dari mulut Mufid. Meledaklah perasaan Nur, ia merasa mendapat
penolakan, bagaimanalah semua akan berjalan baik-baik saja setelah ini. Nur akan menarik diri
dari peredaran, dan berusaha menjauhi kontak langsung dengan Mufid. Tentu saja. Ia malu,
kawan. Kalimat-kalimat Mufid menyumpal bathinnya, kotak suara itu mengotomasikan neuron-
neuronnya agar men-delete Mufid segera dari memorinya.
Berbulan kemudian duo sahabat itu benar-benar lenyap. Tawa dan candanya ikut menguap
mengakhiri segalanya.
Pagi itu ruangan kelas yang dipersiapkan pihak kampus untuk perhelatan ujian semester terasa
lengang. Nur berjalan menyusuri koridor. Sengaja datang paling awal untuk mencocokkan
nomor di kartu peserta dengan ruangan ujiannya. Semuanya buyar ketika sosok itu muncul
kembali. Setelah berbulan berusaha menghindari kontak langsung. Mereka akhirnya
berpapasan. Mufid yang sedang asyik mengobrol dengan seorang perempuan tertawa begitu
lepas.
Nur mengendalikan perasaan. Fokus utama hari ini adalah ujian semester yang hanya
beberapa jam lagi. Bergegas Nur memperbanyak langkah sengaja benar untuk menghindari
mereka. Mufid entah peduli atau tidak. Mereka saling mengabaikan.
"Allohumma innii a’udzubika an adlilla au udlolla au azilla au uzalla au adhlima au udhlama au
ajhala au yujhala ‘alayya* desis Nur beberapa saat sebelum ujian berlangsung. Ia sudah duduk
manis menunggu. Saatnya bertempur.
Nur melangkah terpatah seusai ujian. Butiran soal yang tadi tersaji rupanya memiliki tingkat
kesulitan yang beragam. Ada yang mampu Nur selesaikan dengan cepat dan ada pula yang
sukar dipecahkan. Seolah menjadi analogi yang tepat dengan perikehidupan. Hidup layaknya
seperti menghadapi ujian. Jika kita sudah terlatih mengerjakan beragam jenis persoalan tentu
dengan mudah akan bisa kita selesaikan, karena sejatinya, tidak pernah ada soal yang tidak
ada jawabannya. Akan repot urusan dosen jika menyajikan pertanyaan yang tidak memiliki
jawaban. Soal dan jawaban merupakan dua sedjoli. Sejauh apapun mereka dipisahkan,
akhirnya akan bertemu juga, hanya masalah waktu.
Nur melangkah gontai ketika sampai di mulut gerbang kampus, ia masih berkutat dengan
pemikirannya. Betapa masalah selalu berperan penting dalam proses pendewasaannya.
Masalah adalah cara Allah berdialog kepada hamba-Nya. Nur ingat betul ucapan Mamah
sebelum Nur pergi merantau ke Ibukota.
"Nur, begitu banyak ilalang yang akan tumbuh disekitarmu, jika Nur tidak telaten menebasnya,
Nur akan kehilangan kesempatan melihat segalanya, bisa dipastikan Nur akan tersesat tidak
tau ke mana harus melangkah, tebaslah dengan selalu mengingat dan meminta hanya pada
Allah. Dan ketika Nur berhadapan dengan suatu masalah percayalah, Laa yukallifullahu nafsan
illa wus'aha, sungguh". Nur melambaikan tangan, memanggil angkot, sambil tetap membiarkan
pikirannya beterbangan ke masa silam.
Matahari telah berada di puncaknya, teriknya acapkali melelehkan keringat. Nur menyeka peluh
di wajahnya. Klakson yang dibunyikan supir angkot meramaikan siang hari. Debu ikut
berpesta-pora membikin rusuh udara siang hari ini. Setelah beberapa belokan lagi Nur akan
sampai di kostannya. Saat hendak melihat jam di ponselnya, tertera sebuah panggilan tak
terjawab. Klik. Panggilan tak terjawab dari Mufid. Nur mengabaikan dan memasukkan kembali
ponselnya ke dalam tas.
Ponselnya berdering lagi saat Nur baru saja tiba di kamar kost tercinta. Lagi-lagi Mufid. Nur
membiarkannya berdering, enggan menerima panggilan sekaligus enggan menolak panggilan
tersebut. Satu dua ponsel terus berdering, tak jera rupanya. Hingga setelah panggilan yang
ketiga ponselnya baru berhenti berdering, berganti nada dengan dering tanda sebuah pesan
masuk. Nur membukanya.
Apa kabar Nona? Tidakkah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan hari ini?
Nur menatap lamat-lamat isi pesan tersebut, memikirkan sesuatu kemudian membalasnya,
mengetik-ketikan sesuatu di ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya dia tersenyum lepas.
Mulutnya mendesis mengucap hamdallah, lalu meletakkan kembali ponselnya di meja.
Lama. Ponsel Nur hening.
Di ujung sana Mufid sedang mengeluh sambil mengusap wajahnya serta mengacak-acak
rambutnya. "Nur, maafkan aku, semoga kelak kita dipertemukan pada waktu yang tepat, hidup
ini teramat pelik Nur, jika kau tidak berbekal banyak untuk dunia dan akhirat, maka kehidupan
akan menelanmu bulat-bulat. Aku senang kau giat mencari Ilmu semata karena Allah, bukan
dengan iming-iming keduniaan. Bergegaslah Nur, gapai impianmu, kau kuat, kau hebat dan aku
menyukaimu, ini bukan pura-pura, tetapi aku tidak akan membiarkanmu tahu". Tuts.
Rekamannya dihentikan, setelah ia berkata panjang lebar.
Belalai panjang yang menelusuri tubuh Mufid, dan tabung oksigen mendesis mengeluarkan
uap, terhubung membekap mulut dan hidungnya. Sejak tiga jam yang lalu Mufid sudah tidak
bisa bernafas sendiri, alat-alat hebat inilah yang membantunya. Prakiraan dokter meleset,
ternyata kondisi kesehatan Mufid lebih cepat memburuk. Bagaimanalah, tadi pagi Mufid masih
sempat berpapasan dengan Nur, mengobrol dengan Alika bahkan tertawa-tawa dengannya,
lalu duduk tenang sambil mengerjakan soal ujian.
Peralatan medis yang canggih inipun kini tak kuasa banyak membantunya bernafas. Detak
jantungnya melambat sebelum akhirnya tidak berdetak sedikitpun. Diiringi tangis ibunya
memecah ruangan sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya yang mulai kaku dan dingin.
Percuma saja. Tumor di otaknya telah memenangkan peperangan.
"Kau selalu saja terlambat, lamban dasar kau lamban Mufid" isak Nur menyeka airmata yang
tak ingin berhenti mengalir.
Ia tak henti menebar bunga diantara pusara serta menggenggam erat ponsel Mufid. Rekaman
itu. Nur sudah mendengarnya. Berkali-kali mendengarkannya.
Kawan, kau tahu? Pesan seperti apa yang Nur ketikkan saat itu, saat Mufid masih sempat
membacanya.
I always knew this day would come
We’d be standing one by one
With our future in our hands
So many dreams so many plans
But yesterdays gone we gotta keep moving on
I’m so thankful for the moments so glad I got to know you
The times that we had I’ll keep like a photograph
And hold you in my heart forever
I’ll always remember you
Everyday that we had all the good all the bad
I’ll keep them here inside
All the times we shared every place everywhere
You touched my life
One day we’ll look back we’ll smile and we’ll laugh
But right now we just cry
Cause it’s so hard to say goodbye
Walaupun aku susah melupakan Kakak, tapi aku mulai terbiasa tanpa Kakak, tidak usah kasihani
aku lagi, aku tak butuh lagi, semoga Kakak bahagia...
gasuka cerita sedih :((
BalasHapuswkwkwkw iyaaa nih payaaah bgt cerita yg iniii...
BalasHapus