Aku menangkap dia, bayangannya, yang kemudian ku
jadikan dongeng dan terperangkap dalam khayalanku sendiri.
Ya Rabb lalu dia menuliskan ini untukku “Sudah lah, kita adalah apa yang
terus berjalan tanpa pernah tiba pada pengertian... lepaskanlah aku perlahan,
kamu akan terbiasa tanpaku, dan alam akan bertutur sederhana, menghapus habis
dongeng ini, meretas masa depanmu yang akan lebih baik tanpa kehadiranku...”
Dan, hanya itu kalimat terakhir pada surat terakhir
yang tertulis dengan tinta biru dalam secarik kertas tertanda Taufiq. Hari-hari
berikutnya, Pak Pos—yang belakangan dikenal bernama Pak Samidi tidak pernah
datang lagi ke kediaman Almira. Pernah sehari penuh Almira menanti kedatangan
Pak Samidi, dan tentunya berharap beliau mengenggam sebuah amplop, lagi, yang
bertuliskan : Untuk Almira (Surat ke-225). Nyatanya, itu sia-sia saja, tidak
pernah ada surat ke-225 dari Taufiq.
Selama 15960 jam Almira mengenal Taufiq, ia berhasil
mengantongi 224 surat dari Taufiq. Dan sebaliknya, Almira telah mengirimkan balasan
sebanyak 362 surat, karena terkadang Almira harus mengirim lebih dari tiga surat untuk Taufiq, untuk mendapatkan
kiriman surat yang ia nanti-nantikan dari Jerman, tempat Taufiq tinggal kini.
Sementara itu, pagi hari di bawah naungan kaki
langit Neunfradenburg. Taufiq menghirup nafas Jerman—negara dimana
Adolf Hitler pernah menghirup udara yang sama, pada tahun 1933-1945, meretas
rezim otoriternya membawa negara Jerman memasuki masa-masa kehancuran dalam
Perang Dunia II. Dan ditemani secangkir mocha di atas beranda flatnya, tepatnya
Flat nomor 19, lantai 12. Meskipun demikian, fikirannya jauh menerawang
membawanya melintas benua, menuju Indonesia. Di negara asalnya tersebut, ia
memiliki sepenggal kisah yang dengan sengaja ia tinggalkan.
Beberapa saat
kemudian, ia beranjak dari kursinya menuju kamarnya. Lama. Hingga akhirnya dia
kembali duduk di beranda dengan membawa secarik kertas beserta sebuah Kugelschreiber, bolpoint.
Untuk : Almira (Surat ke-225)
Assalamualaikum,
Almira, aku yakin lahir dan bathinmu selalu
baik-baik saja, aku percaya Tuhan tak pernah habis perlindungan-Nya, melindungi
wanita sepertimu, yang pandai menutup rapi lukanya, yang selalu berkesempatan
belajar keikhlasan dari setiap cobaan yang di berikan-Nya, yang hidup
beralaskan pondasi keimanan, yang berusaha membuat orang lain selalu merasa
bahagia berada didekatmu.
Almira, kau tau? kita terlalu sama, terlalu menyukai
hal-hal yang nyaris sama, berfikiran yang sama, impian yang sama, memikirkan
hal gila yang sama, mengeluarkan kata-kata yang sama, memilih jalan yang sama,
hingga aku berfikir jiwa kita bak pinang terbelah dua saja. Itulah sebabnya aku
betah menjadi sahabatmu, betah dengan persahabatan ini.
Almira, kita tidak akan pernah cocok menjadi
sepasang kekasih, jika kita terlalu memiliki karakter yang sama, maka hidup
sebagai pasangan adalah bukan pilihan yang tepat, kelak mungkin jika kita
memaksakan menjadi sepasang kekasih, maka hidup kita tidak akan variatif, semu,
kaku, seperti hanya hidup sendirian, karena melihat tingkahmu, sama persis
dengan tingkahku. Dan aku tidak akan menyukai itu.
Almira, pada hari dimana aku berkata, aku
mencintaimu, apakah kamu tidak dapat membedakan mana canda dan seriusku? Ya,
aku tau jawabanmu, aku sendiri bingung membedakannya. Maka jangan pernah bilang
bahwa kamu juga mencintaiku, aku akan bingung melihat itu sebuah canda ataukah
kenyataan. Aku ragu.
Tetapi Almira, sungguh di luar dugaan, kali ini
tebakanku meleset, kamu menanggapi ini semua dengan serius, kamu membawa dirimu
hanyut dalam sesatnya kalimat cinta yang aku utarakan. Ah, betapa aku menyesal
telah mengatakan itu.
Almira, kamu salah, aku masih ragu, sungguh sangat
ragu dengan perasaanku sendiri.
Almira, tolong. Jangan anggap ini berlebihan, aku
tidak bisa diharapkan, tidak pernah bisa kamu harapkan. Andaikan ada sebuah
pengharapan dari dirimu, katakan itu pada Allah azza wa Jalla. Gantungkan harapanmu
pada-Nya semata, karena sepahit apapun jawaban-Nya itulah yang terindah, yang
telah dirangkai dalam catatan indah dari-Nya di Lauh Mahfudz.
Almira, suatu ketika aku pernah menyesal telah merecoki kehidupanmu, tetapi akan lebih
kusesali lagi, andai aku tidak pernah mengenalmu.
Almira, bahkan aku ragu mengirimkan surat ke 225 ini
kepadamu.
Subhanallah icaaan, bahkan aku ragu mengirimkan komen ke 225 ini kepadamu :D
BalasHapus