Andai Lampu Merah Menyala Lebih Lama lagi...

Berjibaku dengan mulut knalpot mulai dari yang berukuran raksasa hingga berukuran mungil adalah telah menjadi ritual yang tak dapat terelakkan bagi pengguna sepeda motor yang berkeliaran di jalanan ibukota ini. Setiap hari tak kurang dari ribuan sepeda motor berama-ramai memadati jalanan metropolitan dengan membawa bermacam misi dalam benaknya, mulai dari pekerja kantoran, penjual roti, tukang delivery order, anak kuliahan, anak sekolahan, freelancer, tukang kredit, tukang mie ayam, ada yang mau pergi ke pasar, dan mungkin ada yang hendak menemui pacar itu semua hanya dirinya dan Tuhan yang tahu.

Dan diantara lolongan klakson metromini, kopaja, busway, truk tronton, mobil ambulance, mobil pemadam kebakaran, hingga mobil para pejabat negeri ini (beserta mobil-mobil iringannya), terkisahlah sebuah sepeda motor berjenis bebek keluaran tahun 2004 dengan warna dasar hitam pucat tergerus sengatan matahari dan motifnya berwarna kuning cerah, dengan knalpot yang sedikit lebih berisik ketimbang sepeda motor normal lainnya. Sepeda motor nge-jreng nan ajaib itu tak lain dan tak bukan dikendarai oleh seonggok makhluk berselimutkan jaket berwarna biru tua, dengan syal yang lagi-lagi berwarna biru tua yang di tutupkannya diantara sebagian wajahnya sehingga yang tersisa hanyalah dahi, sepasang mata plus alis berantakan dan segaris hidungnya, lebih nampak seperti wanita-wanita timur tengah yang bercadar. Bedanya, plus kacamata bulat-bulat dengan frame kira-kira berdiameter lima sentimeter, lengkaplah sudah penampilannya, artinya sekarang lebih mirip seperti capung raksasa yang memiliki mata bulat dan besar dan bertopeng tentunya, tak jelaslah kawan bagaimana cara mendeskripsikannya.

Adalah saya orangnya yang mengenakan kostum lengkap seperti yang digambarkan diatas, dan motor bebek nan nge-jreng yang dikisahkan itupun milik saya. Ya, memang benar, saya harus berpakaian lengkap seperti itu demi menjaga keamanan mata, wajah serta alat pernafasan agar tidak terlalu banyak menghirup karbonmonoksida yang dimuntahkan bajaj, metromini ataupun kopaja.
Tujuan saya? berpagi-pagi bertegur-sapa dengan jalanan padat ibukota yang membuat pusing kepala adalah untuk memenuhi hajat hidup dengan bekerja di sebuah lembaga kursus sebagai staff pengajar. Kawan, seringkali saya mendapat pelajaran dari setiap inci perjalanan yang saya lalui, saya yakin kau pun merasakan hal yang sama bukan? Suatu ketika saya pernah melupakan cara bersyukur pada-Nya, saya melupakan cara berterimakasih kepada-Nya namun, kejadian kecil ini membuat saya merasa harus terus menerus mengucap syukur atas nikmat nafas dari-Nya.

Lampu merah di perempatan jalan Pemuda menghentikan laju sepeda motor bebek nge-jreng saya, saya harus menunda perjalanan selama sekitar 150 detik, saya terkejut dengan tiba-tiba munculnya banyak pedagang asongan menawarkan bermacam benda yang di gendongnya, mulai dari menawarkan air mineral, mainan anak-anak, hingga lem serbaguna, mendadak 150 detik ini dijadikan peluang emas bagi mereka untuk mengais rezeki, tak peduli panas yang acapkali melelehkan keringat, mereka tidak pernah kehabisan suara untuk menyuarakan dagangannya. Mungkin dalam benak mereka yang terfikir adalah bagaimana caranya membahagiakan anak istrinya meski matahari terus membakar  tubuhnya hingga menghitam legam, mereka tak peduli.

Di lampu merah berikutnya, 150 detik kali ini digunakan pengemis jalanan mengulurkan tangannya berharap dilemparkan beberapa keping uang receh dari mobil-mobil mewah yang melintas. Yang paling memprihatinkan adalah bocah-bocah cilik yang seharusnya bisa mengenyam bangku taman kanak kanak yang riang gembira penuh dengan permainan kini harus terseok-seok mengulurkan tangan dari satu-per-satu mobil-mobil mewah nan mengkilap. Adalagi seorang nenek tua yang nahas berjalan dengan bertumpu pada kedua tangannya karena kedua kakinya tiada entah kemana dan ia tetap bersemangat beraksi di dalam rentang waktu 150 detik itu.

Terbesit rasa iba untuk melemparkan beberapa lembar pecahan rupiah kepada mereka, namun saya teringat percakapan saya dengan seorang teman sebut saya si A : “Eh, mereka itu sebenarnya lebih kaya daripada kita, itung saja jika seharian ada 50 mobil yang melemparkan pecahan seribu rupiah, dalam sebulan saja penghasilannya sudah mendekati upah minimum regional, dan sudah ada perintahnya agar kita tidak boleh terlalu memanjakan mereka dengan terus-menerus kita kasih uang, pada akhirnya mereka tidak produktif dan semakin manja, bisa-bisa kemajuan negara ini hanya jalan di tempat saja, dengan kualitas sumber daya manusia yang begitu-begitu saja”. Separuh dari pemikiran nalar saya mengiyakan pendapat tersebut.  “Betul juga” umpat saya dalam hati. Akhirnya dengan dalil tersebut, maka telah berjuta kali saya mengurungkan niat ‘memberi’ pada mereka di setiap 150 detik lampu merah, begitu seringnya saya membuang muka ketika mereka mengulurkan tangan.

Suatu ketika saya pergi berboncengan dengan seorang teman, sebut saja si B. Ketika kami melewati lampu merah, seperti biasa, sang pengemis beraksi, kemudian si B bertanya pada saya
 “Kamu punya uang dua ribu rupiah? Aku pinjam sebentar” saya heran lalu menjawab “Untuk apa?”
“Untuk pengemis itu”
“Hei, kukira kita tidak perlu melakukan itu, kau lihat wajah memelasnya? Kurasa itu hanyalah akting semata, katanya jaman sekarang banyak sekali pengemis yang menjual penderitaannya agar diberi belas kasihan oleh kita, padahal sebenarnya uang mereka menumpuk lebih banyak daripada kita”
“Darimana kamu berfikiran seperti itu?”
“Ayolah, fikir secara logika, hitung berapa kira-kira penghasilan mereka setiap hari jika banyak orang yang merasa iba kepada mereka”
“Oke baiklah terserah apa katamu, kemarilah aku pinjam uang dua ribu rupiahnya?” pada akhirnya saya merogoh saku sambil menyodorkan selembar uang kepada si B, dia berkata “Dengarlah, aku hanya senang ketika melihat orang lain merasa senang, tidak peduli berapa banyak kekayaan yang bisa mereka dapatkan dari hasil mengemisnya, aku hanya ingin berprasangka baik pada mereka, bahwa mereka memang orang-orang yang benar-benar membutukan bantuan”

Kawan, aku tersentak mendengar penuturan si B, betapa piciknya pemikiran saya selama ini, selalu berprasangka buruk terhadap mereka. Padahal barangkali mereka sedang diliputi kebingungan dengan pertanyaan “Tuhan, apakah aku bisa makan hari ini?” berbeda dengan kita, kawan, yang selalu kita tanyakan adalah “Makan apa ya hari ini? Menu apa yang paling enak ya?”

Kawan,
andai lampu merah menyala lebih lama lagi, barangkali ada kesempatan bagi tukang koran itu untuk menjual habis koran yang ada di tangannya, sehingga ia pulang dengan sukacita lalu mengabarkan pada keluarganya “Ya, hari ini tentu kita bisa makan”

Komentar