Belajar dari Nyamuk

Malam mulai larut, namun aku belum juga dapat memejamkan mataku. Hujan lebat sejak sore tadi membuyarkan semua rencana yang telah kususun dengan rapi. Yah, sekarang sendirian di dalam kamarku menatap sekeliling. Sepi. Laptop sudah dinyalakan sejak beberapa jam yang lalu masih menampilkan hal yang sama. Hitam, seperti langit malam ini. Teringat kembali beberapa guratan kejadian siang tadi, tentang hari-hari kuliah yang mulai membosankan, tentang pekerjaan yang tidak kunjung berakhir, tentang temanku yang sibuk dengan urusan masing-masing, tentang dia..

Lamunanku terhenti saat kudapati satu, bukan tapi dua ekor nyamuk mulai menghinggapi kakiku. Hujan lebat di luar sana memaksa mereka untuk melakukan migrasi dari kebun belakang rumah menuju ke kamarku yang hangat. Sejenak terlintas di benakku mengapa mereka tidak tidur saja di sarang mereka yang nyaman atau bercengkrama dengan keluarganya sembari menunggu hujan reda. Toh masih ada esok hari, waktu yang panjang untuk mencari nafkah buat dirinya maupun keluarganya. Pikiranku semakin terfokus pada pertanyaan-pertanyaan sederhana: apakah nyamuk tidur? Kuambil kembali laptopku, menyusuri dunia informasi digital tak bertepi untuk sekedar menjawab keingintahuanku. Sebuah artikel menerangkan bahwa daur hidup nyamuk tidak lebih dari 24 jam.

Subhanallah.

Tidak dapat dibayangkan apa yang dapat diperbuat oleh seekor nyamuk kurang dari 24 jam sejak dirinya muncul ke permukaan bumi di suatu pagi yang cerah. Mungkin sepertiga hidupnya dihabiskan untuk melakukan adaptasi terhadap alam sekitar, mulai dari fase larva hingga ia menjadi dewasa dan mampu untuk terbang dengan sepasang sayapnya. Namun ia tidak punya waktu yang cukup panjang untuk menikmati kehidupan layaknya remaja yang baru mendapatkan kebebasannya, karena ia dituntut untuk dapat bertahan hidup seorang diri tanpa bantuan siapapun. Sejak itu dimulailah fase selanjutnya untuk mencari makanan, yang seringkali dapat membahayakan hidupnya apabila tidak dilakukan dengan hati-hati. Menempuh perjalanan hingga ribuan kali ukuran tubuhnya, dengan berbagai ancaman dalam perjalanan tanpa berbekal penunjuk jalan ataupun makanan. Adapun jika cukup beruntung untuk memperoleh makanan, nyamuk masih harus menjalani satu fase lain dalam hidupnya: kawin. Mungkin sudah menjadi insting bagi setiap makhluk hidup untuk terus hidup dan menghasilkan keturunan, tidak terkecuali nyamuk. Berkompetisi dengan ratusan saudaranya, ia harus mencari pasangan hidup yang dapat memberikannya keturunan. Adalah sangat beruntung apabila seluruh fase dapat dilalui, sehingga suatu ketika akan ia dapati saat sepasang sayapnya tidak lagi mampu mengepak dengan sempurna, kaki-kakinya tidak lagi dapat menapak pada tembok ruangan, sehingga ia tersungkur dan menutup mata untuk selamanya, bahkan sebelum sang fajar mulai menampakkan batang sinarnya.

Tidak ada lagi pertanyaan mengenai tidurnya sang nyamuk, apalagi tentang waktu yang ia butuhkan untuk melakukan prosesi kawin. Hanya ada pelajaran yang dapat dipetik, mengenai perjuangan seekor makhluk yang begitu kecil dan tidak sempurna dalam menjalani hidupnya yang hanya kurang dari satu putaran penuh jarum jam. Ia tidak menyalahkan siapapun ketika mendapati tubuhnya begitu kecil dan hidupnya begitu singkat, yang ia lakukan hanyalah tetap fokus untuk mengerahkan segenap kemampuannya untuk menjalankan fungsinya sebagai makhluk hidup ciptaan Allah. Lalu bagaimana dengan kita, manusia. Siapkah kita untuk berusaha sekuat tenaga, ataukah kita hanya mampu berlaku lebih rendah dari seekor nyamuk?

Komentar