Nur

Malam menyeruak mewarnai pekat langit-langit. Bintang mulai menyembul disana-sini, hanya

saja bulan yang masih enggan merona, bersembunyi dibalik awan-awan kelam. Ada dua

sumber suara yang turut meramaikan, yang pertama suara deru kendaraan dan yang kedua

lantunan kalam Allah yang sengaja dinyalakan lewat laptopnya. Kamar tidurnya kira-kira

berukuran 2x3 meter persegi itu memang letaknya persis menghadap jalan raya, tak ayal deru

kendaraan selalu akrab di telinga. Baginya, hanya lantunan ayat Al-Quran yang tetap mendesis

di nurani meski deru kendaraan acapkali memekikkan telinga.


Sebuah buku tebal diktat kuliahnya tengah berada dalam genggamannya, sejak tadi Nur

membuka satu persatu halaman, namun sesekali ia terhenti kemudian mulutnya seperti komat-

kamit menghafal sesuatu dari buku tersebut, lalu begitu seterusnya. Minggu depan, Nur akan

menghadapi ujian semester di kampusnya, hari ini ia ingin menghabiskan waktu dengan

menghafal kembali apa saja yang sudah ia persiapkan jauh-jauh hari sebelumnya.


Aktifitasnya terhenti sejenak ketika telepon genggamnya nyaring berdering. Sebuah pesan

singkat masuk.

Kalau memang kau pilihkan aku Nur, tunggu sampai aku datang nanti, kubawa kau pergi ke

Syurga Abadi, kini belumlah saatnya aku membalas cintamu, nantikan aku di batas waktu.



Wajah Nur memerah, sambil komat-kamit di dalam hati menyimpulkan beribu pernyataan.

"Kenapa dia begitu norak, semua orang juga tau ini lirik sebuah nasyid, tidakkah ia bisa lebih

kreatif lagi..." mulutnya bergerak-gerak tanpa dikomando. "Tapi kenapa pesan seperti ini baru

muncul di saat-saat seperti ini, jelas merusak suasana, susah payah aku membangun aura

jenius demi ujian besok" ujarnya sambil menyeka airmata yang tiba-tiba saja deras. "Kenapa

kau selalu terlambat" desisnya.


Nur sudah terlanjur melupakan kenangan itu. Tetapi pesan singkat itu menoreh kembali

kenangan yang tidak ingin Nur ingat-ingat lagi. Kenangan itu sengaja dibiarkan tergilas waktu,

dan bahkan ingin ia lenyapkan hingga tak berbekas.

Semua berawal ketika beberapa bulan yang lalu.

"Kakak, aku tahu kakak suka sama Nur, aku tahu Kakak berusaha menyembunyikan perasaan itu

selama ini sama Nur" desisnya tanpa tedeng aling. Lawan bicara yang hendak pergi

meninggalkannya berbalik dan hanya menatapnya sekilas kemudian tertunduk dalam.

"Kakak orang paling jahat di dunia ini, kakak selalu membungkus semuanya dengan kepura-

puraan, terkadang pura-pura menyukaiku, hingga berpura-pura membenciku, hingga samar

semua harapanku terhadap Kakak, tidakkah kau tau bagaimana sakitnya perasaanku?" papar

Nur gemas. Tidak juga mendapat jawaban dari lawan bicaranya yang sejak tadi hanya berdiri

mematung.


Saat itu Nur menebak begitu saja, tentang perasaan Mufid kepadanya. Mereka adalah sahabat

sejati saat itu, yaa sebelum semuanya berubah. Setidaknya itu menurut Nur, sejatinya mereka

adalah sahabat terbaik yang pernah ada di muka bumi ini.


Kotak Masalah adalah julukan Nur untuk Mufid, sedangkan Kotak Suara yang Mufid nobatkan

kepada Nur. Secara arti, Mufid adalah tempat berkeluh kesah Nur yang tiada hari tanpa

berhenti bercerita. Nur memang hobi bercerita. Baik itu melalui tulisan maupun lisan. Namun

untuk bercerita secara lisan, Mufid lah orang yang paling berperan penting. Sepandai-

pandainya Nur berkeluh kesah, hanya Mufid yang dengan ikhlas mau-mau saja dijadikan kotak

masalah. Bayangkan saja, Nur bisa menghabiskan waktu beberapa jam untuk bercerita, bisa

habislah dua interval acara radio.


Sejauh yang bisa kita simpulkan, Nur menyukai Mufid. Tepat. Semua masalah berakar dari sini.

Sejak dahulu kala roman-roman sering mengisahkan tentang bagaimana menderitanya

persahabatan yang diwarnai rasa ketertarikan yang berlebih satu sama lain. Hasilnya hanya

dua, berjalan masing-masing dan saling menjauh, atau berakhir bahagia. Nur pesimis ini

semua akan berakhir bahagia.


"Nur, aku tak menyangka bisa-bisanya kau memikirkan sesuatu yang tidak perlu kau pikirkan

saat ini enyahkanlah bualanmu itu, bergegaslah penuhi tugas utamamu sebagai seorang

pencari ilmu sejati. Tentang perasaan, alam yang akan bertutur kelak" akhirnya meluncur juga

rentetan kalimat itu dari mulut Mufid. Meledaklah perasaan Nur, ia merasa mendapat

penolakan, bagaimanalah semua akan berjalan baik-baik saja setelah ini. Nur akan menarik diri

dari peredaran, dan berusaha menjauhi kontak langsung dengan Mufid. Tentu saja. Ia malu,

kawan. Kalimat-kalimat Mufid menyumpal bathinnya, kotak suara itu mengotomasikan neuron-

neuronnya agar men-delete Mufid segera dari memorinya.


Berbulan kemudian duo sahabat itu benar-benar lenyap. Tawa dan candanya ikut menguap

mengakhiri segalanya.


Pagi itu ruangan kelas yang dipersiapkan pihak kampus untuk perhelatan ujian semester terasa

lengang. Nur berjalan menyusuri koridor. Sengaja datang paling awal untuk mencocokkan

nomor di kartu peserta dengan ruangan ujiannya. Semuanya buyar ketika sosok itu muncul

kembali. Setelah berbulan berusaha menghindari kontak langsung. Mereka akhirnya

berpapasan. Mufid yang sedang asyik mengobrol dengan seorang perempuan tertawa begitu

lepas.


Nur mengendalikan perasaan. Fokus utama hari ini adalah ujian semester yang hanya

beberapa jam lagi. Bergegas Nur memperbanyak langkah sengaja benar untuk menghindari

mereka. Mufid entah peduli atau tidak. Mereka saling mengabaikan.

"Allohumma innii a’udzubika an adlilla au udlolla au azilla au uzalla au adhlima au udhlama au

ajhala au yujhala ‘alayya* desis Nur beberapa saat sebelum ujian berlangsung. Ia sudah duduk

manis menunggu. Saatnya bertempur.


Nur melangkah terpatah seusai ujian. Butiran soal yang tadi tersaji rupanya memiliki tingkat

kesulitan yang beragam. Ada yang mampu Nur selesaikan dengan cepat dan ada pula yang

sukar dipecahkan. Seolah menjadi analogi yang tepat dengan perikehidupan. Hidup layaknya

seperti menghadapi ujian. Jika kita sudah terlatih mengerjakan beragam jenis persoalan tentu

dengan mudah akan bisa kita selesaikan, karena sejatinya, tidak pernah ada soal yang tidak

ada jawabannya. Akan repot urusan dosen jika menyajikan pertanyaan yang tidak memiliki

jawaban.  Soal dan jawaban merupakan dua sedjoli. Sejauh apapun mereka dipisahkan,

akhirnya akan bertemu juga, hanya masalah waktu.


Nur melangkah gontai ketika sampai di mulut gerbang kampus, ia masih berkutat dengan

pemikirannya. Betapa masalah selalu berperan penting dalam proses pendewasaannya.

Masalah adalah cara Allah berdialog kepada hamba-Nya. Nur ingat betul ucapan Mamah

sebelum Nur pergi merantau ke Ibukota.

"Nur, begitu banyak ilalang yang akan tumbuh disekitarmu, jika Nur tidak telaten menebasnya,

Nur akan kehilangan kesempatan melihat segalanya, bisa dipastikan Nur akan tersesat tidak

tau ke mana harus melangkah, tebaslah dengan selalu mengingat dan meminta hanya pada

Allah. Dan ketika Nur berhadapan dengan suatu masalah percayalah, Laa yukallifullahu nafsan

illa wus'aha, sungguh". Nur melambaikan tangan, memanggil angkot, sambil tetap membiarkan

pikirannya beterbangan ke masa silam.


Matahari telah berada di puncaknya, teriknya acapkali melelehkan keringat. Nur menyeka peluh

di wajahnya. Klakson yang dibunyikan supir angkot meramaikan siang hari. Debu ikut

berpesta-pora membikin rusuh udara siang hari ini. Setelah beberapa belokan lagi Nur akan

sampai di kostannya. Saat hendak melihat jam di ponselnya, tertera sebuah panggilan tak

terjawab. Klik. Panggilan tak terjawab dari Mufid. Nur mengabaikan dan memasukkan kembali

ponselnya ke dalam tas.


Ponselnya berdering lagi saat Nur baru saja tiba di kamar kost tercinta. Lagi-lagi Mufid. Nur

membiarkannya berdering, enggan menerima panggilan sekaligus enggan menolak panggilan

tersebut. Satu dua ponsel terus berdering, tak jera rupanya. Hingga setelah panggilan yang

ketiga ponselnya baru berhenti berdering, berganti nada dengan dering tanda sebuah pesan

masuk. Nur membukanya.

Apa kabar Nona? Tidakkah ada sesuatu yang ingin kau ceritakan hari ini?

Nur menatap lamat-lamat isi pesan tersebut, memikirkan sesuatu kemudian membalasnya,

mengetik-ketikan sesuatu di ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya dia tersenyum lepas.

Mulutnya mendesis mengucap hamdallah, lalu meletakkan kembali ponselnya di meja.

Lama. Ponsel Nur hening.


Di ujung sana Mufid sedang mengeluh sambil mengusap wajahnya serta mengacak-acak

rambutnya. "Nur, maafkan aku, semoga kelak kita dipertemukan pada waktu yang tepat, hidup

ini teramat pelik Nur, jika kau tidak berbekal banyak untuk dunia dan akhirat, maka kehidupan

akan menelanmu bulat-bulat. Aku senang kau giat mencari Ilmu semata karena Allah, bukan

dengan iming-iming keduniaan. Bergegaslah Nur, gapai impianmu, kau kuat, kau hebat dan aku

menyukaimu, ini bukan pura-pura, tetapi aku tidak akan membiarkanmu tahu". Tuts.

Rekamannya dihentikan, setelah ia berkata panjang lebar.


Belalai panjang yang menelusuri tubuh Mufid, dan tabung oksigen mendesis mengeluarkan

uap, terhubung membekap mulut dan hidungnya. Sejak tiga jam yang lalu Mufid sudah tidak

bisa bernafas sendiri, alat-alat hebat inilah yang membantunya. Prakiraan dokter meleset,

ternyata kondisi kesehatan Mufid lebih cepat memburuk. Bagaimanalah, tadi pagi Mufid masih

sempat berpapasan dengan Nur, mengobrol dengan Alika bahkan tertawa-tawa dengannya,

lalu duduk tenang sambil mengerjakan soal ujian.


Peralatan medis yang canggih inipun kini tak kuasa banyak membantunya bernafas. Detak

jantungnya melambat sebelum akhirnya tidak berdetak sedikitpun. Diiringi tangis ibunya

memecah ruangan sambil mengguncang-guncangkan tubuhnya yang mulai kaku dan dingin.

Percuma saja. Tumor di otaknya telah memenangkan peperangan.

"Kau selalu saja terlambat, lamban dasar kau lamban Mufid" isak Nur menyeka airmata yang

tak ingin berhenti mengalir.

Ia tak henti menebar bunga diantara pusara serta menggenggam erat ponsel Mufid. Rekaman

itu. Nur sudah mendengarnya. Berkali-kali mendengarkannya.




Kawan, kau tahu? Pesan seperti apa yang Nur ketikkan saat itu, saat Mufid masih sempat

membacanya.

I always knew this day would come
We’d be standing one by one
With our future in our hands
So many dreams so many plans


But yesterdays gone we gotta keep moving on
I’m so thankful for the moments so glad I got to know you
The times that we had I’ll keep like a photograph
And hold you in my heart forever
I’ll always remember you


Everyday that we had all the good all the bad
I’ll keep them here inside
All the times we shared every place everywhere
You touched my life
One day we’ll look back we’ll smile and we’ll laugh
But right now we just cry
Cause it’s so hard to say goodbye


Walaupun aku susah melupakan Kakak, tapi aku mulai terbiasa tanpa Kakak, tidak usah kasihani
aku lagi, aku tak butuh lagi, semoga Kakak bahagia...

Komentar

Posting Komentar